Gerbang-gerbang tersebut kini menampilkan dua pilar yang mengadopsi gaya gerbang kerajaan seperti candi, lengkap dengan desain berundak-undak yang terinspirasi dari arsitektur di kawasan Cirebon atau daerah Jawa lainnya. Perubahan signifikan ini sontak menjadi perbincangan, terutama mengingat narasi efisiensi anggaran yang tengah digalakkan Pemprov Jabar untuk APBD tahun 2025 dan 2026.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jawa Barat, Mas Adi Komar, menjelaskan bahwa dana sebesar Rp3,9 miliar tersebut dialokasikan untuk merenovasi enam gerbang, perbaikan pilar, serta penataan area parkir barat dan timur yang sebelumnya dinilai tidak layak.
“Sudah lama tidak ditinjau ulang dan sudah lama tidak direnovasi. Ini sekalian kita renovasi karena kemarin-kemarin kan juga ada aktivitas-aktivitas masyarakat, ada unjuk rasa dan lain-lain. Kita ingin memperkokoh lagi area sekitar Gedung Sate, terutama di bagian luar. Ya, pilar salah satunya,” ujar Adi.
Adi menambahkan, renovasi ini juga bertujuan untuk mempertahankan Gedung Sate tidak hanya sebagai kantor, tetapi juga sebagai ikon khas budaya Jawa Barat. Pekerjaan ini ditargetkan rampung pada Desember 2025.
Tanggapan Publik
Mas Adi Komar membantah bahwa proyek renovasi ini mengabaikan nilai sejarah. Menurutnya, konsep dua pilar yang menyerupai Candi Bentar justru merupakan upaya untuk mempertegas identitas budaya Jawa Barat di lingkungan pusat pemerintahan. "Pilar ini memunculkan ikon budaya Jawa Barat, terinspirasi Candi Bentar yang banyak digunakan di keraton-keraton yang ada di Jawa Barat," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa pengerjaan ini tidak merusak cagar budaya, sebab bagian pilar dan parkiran tidak termasuk dalam status cagar budaya, melainkan inti bangunan Gedung Sate. Sebelum pengerjaan, Pemprov Jabar telah melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Balai Cagar Budaya. Mengenai urgensi perbaikan di tengah efisiensi anggaran, Adi menyebut hal tersebut sudah dibahas dalam anggaran perubahan dan mendukung fasilitas layanan publik, termasuk "Bale Pananggeuhan" yang baru ada di dalam Gedung Sate.
Meski demikian, publik melalui media sosial melayangkan kritik terhadap langkah tersebut. Perubahan gaya arsitektur pagar yang cenderung "nyunda" atau bergaya kerajaan, dinilai tidak selaras dengan arsitektur Indo-Europeeschen architectuur stijl yang melekat pada Gedung Sate. "Atuhlah, itukan peninggalan Belanda bukan peninggalan Padjadjaran. Jadi asa gak nyambung," tulis salah satu warganet di Instagram yang ramai dikutip publik.
Menanggapi polemik tersebut, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi meminta agar kritik tidak diperpanjang dan lebih mempercayai keahlian arsitek. “Jangan ikutin netizen, tapi ikutin arsitek. Kalau ikutin netizen gak akan selesai,” ujar Dedi Mulyadi. Ia menekankan bahwa pembangunan di kawasan bersejarah harus diserahkan kepada ahlinya, yakni arsitek tata ruang yang memahami filosofi bangunan. “Ikuti arsitek yang ahli dalam bidang tata ruang, terutama ruang-ruang yang bersejarah,” tegasnya.
