HARIANJABAR.ID - Sebanyak 21 ruas jalan tol di Indonesia menghadapi krisis rendahnya volume lalu lintas pada tahun 2024, sebuah kondisi yang memicu kekhawatiran dari Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo dan para pakar infrastruktur mengenai potensi kegagalan investasi akibat tarif yang mencekik dan kurangnya konektivitas vital.
Sorotan utama terhadap fenomena jalan tol sepi ini datang dari Direktur Eksekutif Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS), M. M. Gibran Sesunan. Menurut Gibran, akar masalah justru berasal dari perencanaan pemerintah yang dinilai terlalu optimistis dan tidak realistis dalam melakukan studi kelayakan (feasibility study).
“Optimisme yang berlebihan membuat proyeksi lalu lintas dalam studi kelayakan tidak sesuai dengan kenyataan. Akibatnya, banyak proyek yang akhirnya merugi dan sulit memenuhi standar pelayanan minimum,” ujar Gibran.
Proyeksi lalu lintas yang meleset jauh dari realitas ekonomi dan pola mobilitas masyarakat berujung pada kerugian finansial yang signifikan bagi pengelola jalan tol. Kondisi ini bukan hanya sekadar angka di atas kertas, melainkan ancaman nyata bagi keberlanjutan investasi triliunan rupiah yang telah digelontorkan.
Tarif Mahal dan Minimnya Integrasi Infrastruktur
Selain studi kelayakan yang terlalu “pede”, Gibran juga menyoroti tingginya tarif tol sebagai penghambat utama. Sebagai ilustrasi, Jalan Tol Manado-Bitung mematok tarif Rp1.200 per kilometer untuk kendaraan golongan 1, sebuah angka yang dianggap membebani sektor logistik dan transportasi barang. Situasi serupa juga terlihat di ruas tol Bengkulu–Taba Penanjung, Krian–Legundi–Bunder–Manyar, serta Kanci-Pejagan, yang semuanya menunjukkan tingkat penggunaan di bawah ekspektasi.
Padahal, infrastruktur tol yang dibangun sebagian besar memiliki orientasi logistik, namun belum mampu memberikan nilai tambah yang signifikan bagi rantai pasok nasional. Hal ini mengindikasikan lemahnya koordinasi dan pengawasan dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) di bawah Kementerian PU. Upaya Menteri PU Dody Hanggodo untuk mendorong integrasi infrastruktur melalui koridor logistik nasional dinilai belum menyentuh inti masalah.
“Tanpa integrasi wilayah dan kebijakan pentarifan yang berpihak pada pengguna, pembangunan tol hanya menjadi monumen beton,” tegas Gibran.
Minimnya konektivitas jalan tol dengan kawasan industri, pelabuhan, atau pusat-pusat ekonomi vital membuat keberadaan tol terasa seperti infrastruktur yang berdiri sendiri tanpa ekosistem pendukung. Para pengamat mendesak pemerintah untuk segera mengaudit BPJT dan meninjau ulang asumsi bisnis dalam setiap proyek tol. Tanpa langkah konkret, masalah rendahnya trafik di 21 ruas tol ini berpotensi menjadi "bom waktu" yang menghambat pengembangan proyek jalan tol baru dan pertumbuhan ekonomi nasional.