![]() |
Ilustrasi |
HARIANJABAR - Ketua Kunjungan Kerja Spesifik Komisi I DPR RI, Sukamta, secara tegas mendesak percepatan revisi Undang-Undang Penyiaran, menyoroti bahwa industri penyiaran nasional telah tertinggal jauh dari perkembangan teknologi dan kebutuhan publik setelah kunjungan kerja di Gedung Sate Bandung. Penundaan selama empat periode ini memerlukan pembahasan serius terhadap RUU Penyiaran yang kini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2026.
Sukamta mengungkapkan keprihatinannya atas lamanya proses revisi regulasi ini, yang menurutnya sudah melewati tiga periode parlemen. "Saya mengalami revisi tiga periode. Sangat lama sekali. Kami berharap kali ini bisa diselesaikan karena industrinya sudah sangat ketinggalan,” ujarnya, menegaskan urgensi pembaruan yang tak bisa ditunda lagi.
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera ini menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, yang selama ini menjadi payung hukum bagi lembaga penyiaran, sudah tidak lagi relevan dengan ekosistem media di era digital saat ini. Tantangan seperti disinformasi dan pergeseran lanskap media menuntut adanya regulasi yang lebih modern dan adaptif.
Revisi ini bukan sekadar upaya pembaruan hukum, melainkan langkah strategis untuk menyelamatkan industri penyiaran dari stagnasi. Sukamta menyoroti pentingnya kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pelaku industri, jurnalis, hingga lembaga penyiaran publik, agar mereka mampu beradaptasi dengan era digital tanpa kehilangan identitas dan fungsi utamanya.
“Undang-undang lama betul-betul tidak relevan. Kita butuh regulasi yang melindungi publik, mendorong inovasi, dan menjaga independensi penyiaran,” tutupnya, menggarisbawahi tujuan mulia di balik revisi ini.
Fokus RUU Penyiaran Bukan Media Sosial
Dalam kesempatan tersebut, Sukamta juga meluruskan isu yang sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan publik mengenai wacana "satu akun satu media sosial". Ia menegaskan bahwa isu tersebut tidak termasuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang sedang digarap Komisi I DPR RI.
“Itu khusus soal media sosial. RUU Penyiaran tidak membahas satu akun satu media sosial. Kita fokus pada penyiaran,” tegasnya
Pernyataan ini sekaligus memberikan ketenangan bagi masyarakat terkait potensi pembatasan kebebasan berekspresi di ruang digital. Sukamta memastikan bahwa revisi UU Penyiaran ditujukan untuk memperkuat tata kelola dan ekosistem lembaga penyiaran, bukan untuk mengatur atau membatasi perilaku pengguna media sosial individu. Fokus utama tetap pada regulasi siaran konvensional dan adaptasinya terhadap platform digital. (Sumber : RRI)