HARIANJABAR.ID - Kampung Naga, sebuah permukiman adat Sunda yang memesona, berdiri teguh di lembah Sungai Ciwulan, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Masyarakatnya hingga kini setia menjaga warisan leluhur melalui serangkaian larangan adat atau "pamali" yang mengatur hampir seluruh aspek kehidupan mereka.
Jauh dari kaitan mitologi Tiongkok, nama "Naga" diyakini berasal dari frasa Sunda "Na Gawir" atau "Dina Gawir", yang secara harfiah berarti "berada di jurang" atau "di lereng lembah", merujuk pada lokasinya yang unik dan tersembunyi. Keberadaan kampung ini menjadi bukti nyata komitmen komunitas terhadap keseimbangan antara manusia, alam, dan tradisi.
Inti dari kelestarian Kampung Naga terletak pada ketaatan warganya terhadap "pamali". Larangan adat ini bukan sekadar aturan, melainkan fondasi yang membentuk pola pikir dan cara hidup, khususnya dalam prinsip pembangunan dan arsitektur rumah tinggal.
Setiap detail konstruksi diatur dengan cermat. Semua hunian harus berbentuk rumah panggung, beratapkan ijuk, dan berdinding anyaman bambu atau yang dikenal sebagai sasag. Arah bangunan pun tidak sembarangan; rumah-rumah wajib menghadap utara atau selatan, dengan posisi memanjang dari barat ke timur.
Prinsip Pamali dalam Kehidupan Sehari-hari
Aturan Ketat Bahan dan Fasilitas Modern
- Penggunaan material modern seperti tembok atau genteng sangat dilarang. Dinding rumah tidak boleh dicat, kecuali dengan kapur putih atau warna merah hati (dimeni).
- Kampung Naga menolak listrik sebagai sumber penerangan utama. Warga masih mengandalkan lampu minyak tanah, dan penggunaan alat elektronik seperti radio atau televisi hanya diperbolehkan jika ditenagai oleh aki atau baterai.
- Tiga bangunan khusus memiliki status yang tidak boleh dijadikan tempat tinggal. Ini meliputi Masjid sebagai pusat ibadah, Bumi Ageung yang berfungsi sebagai rumah besar penyimpanan benda pusaka, serta Bale Patemon, tempat pertemuan dan musyawarah warga.
Melalui kepatuhan terhadap "pamali", masyarakat Kampung Naga tidak hanya mempertahankan arsitektur dan gaya hidup tradisional, tetapi juga menjaga identitas budaya mereka yang kuat dan otentik di tengah gempuran modernisasi.
