Studi Ungkap Peran Besar Atasan dalam Kesehatan Mental Karyawan



HARIANJABAR.ID - Sebuah studi global oleh The Workforce Institute baru-baru ini menyoroti bagaimana sosok manajer di tempat kerja memiliki pengaruh yang jauh lebih besar terhadap kesehatan mental karyawan dibandingkan dengan terapis atau dokter. Temuan ini menggarisbawahi urgensi bagi perusahaan untuk memahami dan meningkatkan kualitas kepemimpinan demi kesejahteraan tim serta produktivitas jangka panjang.

Dalam lanskap dunia kerja yang semakin kompetitif dan menuntut, tekanan kerja menjadi hal yang tak terhindarkan. Namun, siapa sangka bahwa orang yang paling bertanggung jawab dalam mengelola tekanan tersebut, atau justru menambahnya, adalah seorang manajer? Survei komprehensif yang melibatkan 3.400 responden dari sepuluh negara, yang dilakukan oleh The Workforce Institute, menyajikan data yang mengejutkan mengenai fenomena ini.

Studi tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa lebih dari 69 persen manajer memiliki dampak signifikan terhadap kondisi mental karyawannya. Angka ini jauh melampaui pengaruh seorang dokter yang hanya mencapai 51 persen, atau bahkan terapis profesional yang berada di angka 41 persen. Data ini secara gamblang menegaskan bahwa interaksi sehari-hari dengan atasan, baik itu dukungan maupun tekanan, memiliki bobot yang substansial dalam membentuk kondisi psikologis individu di tempat kerja.

Dampak negatif dari stres kerja tidak hanya berhenti di lingkungan kantor. Studi ini juga menemukan bahwa stres yang dialami karyawan karena pekerjaan dapat merembet ke berbagai aspek kehidupan pribadi. Sebanyak 71 persen karyawan melaporkan bahwa stres memengaruhi kehidupan rumah tangga mereka secara negatif, 64 persen merasa kesejahteraan pribadi mereka menurun, dan 62 persen melihat adanya ketegangan dalam hubungan personal mereka. Ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang tidak sehat secara mental, yang seringkali dipicu oleh gaya kepemimpinan, memiliki efek domino yang luas.

Pat Wadors, perwakilan dari The Workforce Institute, menekankan pentingnya pembicaraan mengenai stresor sehari-hari yang dihadapi. "Kita sering membicarakan kesehatan mental dalam konteks diagnosis medis atau kelelahan. Meski hal itu merupakan masalah serius, stressor sehari-hari yang dihadapi—terutama yang disebabkan oleh pekerjaan—adalah hal yang seharusnya lebih sering kita bicarakan sebagai pemimpin," ujarnya. Pernyataan ini menyerukan agar para pemimpin tidak hanya fokus pada target dan keuntungan, melainkan juga pada kualitas interaksi dan lingkungan kerja yang mereka ciptakan.

Ketidakbahagiaan Berujung Pengunduran Diri

Melihat betapa krusialnya kesehatan mental, tidak heran jika karyawan mulai memprioritaskan faktor ini di atas kompensasi finansial. Studi tersebut mengungkapkan bahwa mayoritas, sekitar 80 persen karyawan, menyatakan lebih memilih memiliki kesehatan mental yang baik dibandingkan pekerjaan bergaji tinggi. Bahkan, dua pertiga responden tidak masalah jika harus menerima pemotongan gaji demi mendapatkan pekerjaan yang mendukung kesehatan mental mereka. Ini menandakan pergeseran nilai dalam angkatan kerja modern, di mana keseimbangan hidup dan kesejahteraan pribadi menjadi penentu kebahagiaan yang utama.

Ketidakpuasan terhadap atasan juga terbukti menjadi pemicu utama pergantian karyawan. Lebih dari 57 persen karyawan yang merasa tidak bahagia mengakui bahwa mereka mengundurkan diri dari pekerjaan karena merasa tidak cocok atau tidak menyukai atasan mereka. Angka ini memberikan gambaran jelas bahwa manajer bukan hanya sekadar pemegang kendali operasional, tetapi juga penjaga moral dan semangat tim. Lingkungan kerja yang toksik, yang seringkali berakar dari kepemimpinan yang buruk, akan selalu menghasilkan tingkat retensi karyawan yang rendah dan biaya rekrutmen yang tinggi.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan kepemimpinan yang lebih autentik dan transparan. Wadors menyarankan agar para pemimpin meyakinkan karyawan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi tekanan, serta memberikan dukungan dan kenyamanan yang dibutuhkan. "Kepemimpinan yang autentik dan terbuka adalah kunci untuk menciptakan rasa memiliki di tempat kerja," tambahnya. Dengan membangun lingkungan yang inklusif dan suportif, di mana karyawan merasa didengar dan dihargai, perusahaan dapat menumbuhkan loyalitas dan kinerja yang lebih baik.

Pada akhirnya, setiap atasan memegang kendali penuh atas suasana di tempat kerja. "Setiap atasan [di kantor] memiliki kemampuan untuk mengubah tempat kerja menjadi lingkungan yang toksik atau memprioritaskan kepuasan karyawan," tutup Wadors. Oleh karena itu, investasi pada pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada kecerdasan emosional, komunikasi efektif, dan empati bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan bagi setiap organisasi yang ingin berkembang dan mempertahankan talenta terbaiknya.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال