BANDUNG - Pemerintah Kabupaten Bandung Barat (KBB) melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) sedang gencar mengimplementasikan strategi adaptasi dan ketahanan iklim di sektor pertanian. Hin merupakan respons atas prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengenai datangnya musim hujan 2025 yang lebih dini dengan curah hujan di atas normal. Langkah proaktif ini dirancang untuk memastikan keberlanjutan produksi pangan dan kesejahteraan petani di tengah tantangan cuaca ekstrem.
Inisiatif KBB ini, jauh melampaui sekadar reaksi sesaat terhadap anomali cuaca, merupakan pilar utama dalam membangun fondasi pertanian yang tangguh dan adaptif. Kepala DKPP KBB, Bapak Lukmanul Hakim, menegaskan filosofi di balik gerakan ini.
"Petani adalah garda depan dalam ketahanan pangan. Maka, adaptasi terhadap perubahan iklim harus dimulai dari mereka," ujarnya pada sebuah kesempatan. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya pemberdayaan petani sebagai aktor kunci dalam menghadapi ketidakpastian iklim.
Membangun Kapasitas dan Pengetahuan Petani
DKPP KBB telah merancang program-program yang berfokus pada peningkatan literasi dan kapasitas petani. Salah satu instrumen krusial adalah sosialisasi Kalender Tanam Terpadu (Katam). Katam, yang disusun berdasarkan data iklim akurat dari BMKG dan riset Kementerian Pertanian, berfungsi sebagai peta jalan bagi petani untuk menentukan waktu tanam optimal. Lebih dari sekadar jadwal, Katam adalah alat strategis yang membantu petani menghindari risiko gagal panen akibat cuaca tak terduga.
Penyuluhan tidak berhenti pada Katam saja. Para petugas lapangan DKPP secara aktif memberikan edukasi mendalam mengenai pemilihan varietas tanaman yang memiliki toleransi tinggi terhadap genangan air, serta mendorong praktik percepatan tanam untuk memanfaatkan periode curah hujan yang optimal. Ini penting mengingat potensi banjir yang mungkin terjadi akibat musim hujan yang lebih intens.
Selain itu, untuk memperkaya pemahaman petani, DKPP juga menyajikan informasi terkait dinamika iklim global, seperti fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif dan implikasinya terhadap pola curah hujan lokal. Penjelasan tentang IOD negatif, yang dapat menyebabkan peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat, memungkinkan petani untuk tidak hanya mengikuti anjuran, tetapi juga memahami alasan di baliknya. "Kami ingin petani tidak hanya mengikuti, tapi juga memahami kondisi iklim dan bagaimana menyiasatinya. Musim hujan tinggi bukan hanya soal air, tapi juga soal bagaimana kita mengelola air itu agar tetap produktif," terang Bapak Lukmanul, menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam manajemen air pertanian.
Infrastruktur, Proteksi, dan Sinergi Ekosistem
Membangun ketahanan iklim tidak akan lengkap tanpa dukungan infrastruktur yang memadai dan sistem perlindungan yang kuat. DKPP KBB menempatkan perbaikan dan pengembangan irigasi tersier sebagai prioritas utama. Saluran irigasi yang berfungsi optimal esensial untuk mengelola kelebihan air saat musim hujan dan memastikan ketersediaan air saat dibutuhkan, sehingga risiko banjir dan kekeringan dapat diminimalisir.
Selain itu, distribusi bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), pupuk, serta benih unggul terus digencarkan. Bantuan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi kerja petani, tetapi juga menjadi bagian integral dari strategi mitigasi risiko. Alsintan membantu percepatan pengolahan lahan dan tanam, sementara pupuk dan benih berkualitas memastikan pertumbuhan tanaman yang optimal, bahkan dalam kondisi cuaca yang menantang.
Menyadari bahwa kerugian akibat gagal panen dapat sangat memukul petani, program asuransi pertanian juga digalakkan. Ini menjadi jaring pengaman finansial yang krusial, menawarkan kompensasi kepada petani yang mengalami kerugian akibat bencana alam, termasuk cuaca ekstrem. Asuransi pertanian adalah instrumen perlindungan yang semakin vital di tengah fluktuasi iklim yang tidak menentu.
Lebih lanjut, DKPP KBB secara proaktif menjalin koordinasi dan kemitraan strategis dengan Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura, serta Balai Perlindungan Perkebunan Provinsi Jawa Barat. Kolaborasi ini berfokus pada pengembangan dan implementasi pengendalian hama terpadu (PHT), distribusi agen hayati, serta penyediaan pestisida organik dan kimia secara selektif. Pendekatan ini memastikan perlindungan tanaman yang efektif tanpa merusak ekosistem. "Kami mempersiapkan diri dengan pendekatan ekosistem, bukan hanya reaktif. Hama dan penyakit tanaman juga dipengaruhi oleh perubahan cuaca," pungkas Bapak Lukmanul, menggarisbawahi bahwa ketahanan pertanian modern membutuhkan pemahaman mendalam tentang interaksi kompleks antara iklim, tanaman, dan lingkungan.
Dengan berbagai upaya terpadu ini, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat menunjukkan komitmen seriusnya untuk menciptakan sektor pertanian yang tangguh, produktif, dan berkelanjutan, siap menghadapi tantangan iklim di masa depan.