Mengapa Orang Tua Kerap Menolak Hukuman Anak di Sekolah? Psikolog Ungkap Luka Batin di Baliknya




HARIANJABAR.ID -  Sebuah insiden di SMAN 1 Cimarga, Banten, yang melibatkan seorang guru dilaporkan ke polisi oleh orang tua karena tindakan disipliner terhadap murid, menyoroti fenomena umum di mana orang tua kini semakin sering menolak intervensi hukuman dari pihak sekolah. 

Psikolog menjelaskan bahwa respons protektif ini tidak hanya sebatas melindungi anak, melainkan seringkali berakar pada pengalaman traumatis atau 'luka batin' yang dialami orang tua di masa lampau, yang secara tidak sadar memengaruhi cara mereka memandang dan merespons pola asuh di masa kini.

Kasus di SMAN 1 Cimarga, yang akhirnya berakhir damai setelah guru Dini Pitri sempat dilaporkan, menjadi cerminan nyata dari tantangan yang dihadapi tenaga pendidik zaman sekarang. Di era sebelumnya, tidak jarang orang tua justru mendukung bahkan menambahkan hukuman di rumah jika anak melakukan kesalahan di sekolah. Namun, kini, narasi di media sosial sering kali mencerminkan perdebatan tentang batas-batas disiplin dan otoritas guru di sekolah, dengan banyak orang tua merasa perlu menentang hukuman yang diberikan kepada anak-anak mereka. Lantas, apa yang sebenarnya mendorong perubahan sikap orang tua ini?

Mengurai Akar Permasalahan: Trauma Masa Lalu dalam Pola Asuh

Menurut Psikolog Alva Paramitha, sejatinya ketika orang tua menitipkan anak ke sekolah, hal itu mengindikasikan persetujuan mereka terhadap peraturan dan sistem yang berlaku di lembaga pendidikan tersebut. Namun, realitasnya, penolakan terhadap hukuman atau konsekuensi atas pelanggaran anak seringkali terjadi. Alva Paramitha menuturkan bahwa sikap menolak ini, khususnya pada generasi orang tua saat ini, sering kali disebabkan oleh pengalaman pribadi mereka yang tidak menyenangkan saat bersekolah di masa lalu.

Pengalaman buruk di sekolah, seperti perlakuan yang tidak adil, hukuman yang dirasa berlebihan, atau bentuk-bentuk trauma lainnya, bisa membentuk apa yang disebut 'luka batin' pada diri orang tua. Luka ini, tanpa disadari, memengaruhi cara mereka merespons situasi serupa yang dialami anak-anak mereka.

"Ini bisa termasuk dalam orang tua yang punya luka batin juga di area parenting sehingga bisa jadi sebagai kompensasi parenting ia kepada anaknya," kata Alva seperti dilansir CNNIndonesia.com.

Dalam konteks ini, penolakan orang tua terhadap hukuman sekolah bisa diinterpretasikan sebagai upaya 'kompensasi parenting'. Mereka mungkin ingin memastikan anak-anak mereka tidak merasakan pengalaman pahit yang pernah mereka alami, meskipun terkadang hal itu justru menghambat proses pembelajaran disiplin bagi anak. Keinginan untuk melindungi secara berlebihan ini, jika tidak disadari, bisa menjadi bumerang bagi perkembangan karakter anak.

Memutus Rantai Luka Batin

Untuk memutus siklus ini, Alva Paramitha menyarankan agar orang tua menerapkan 'parenting berkesadaran'. Konsep ini berarti orang tua mampu mengasuh anak tanpa terikat atau dikendalikan oleh luka batin di masa lalu. Ini adalah proses introspeksi dan pemahaman diri di mana orang tua harus mampu memisahkan pengalaman buruk atau trauma pribadi dari cara mereka membentuk pola asuh untuk anak-anak mereka.

Pola asuh berkesadaran mengharuskan orang tua memiliki 'filter' untuk memilah referensi dan pengalaman masa lalu. Tidak semua pengalaman pribadi, baik atau buruk, cocok diterapkan atau dijadikan patokan dalam mendidik anak saat ini. Memahami hal ini adalah kunci untuk menjadi orang tua yang lebih efektif dan tidak membiarkan masa lalu mendikte masa depan anak.

"Sadar artinya dia punya filter mana yang bisa dia terapkan mana yang tidak. Kebalikannya, apabila dia memakai semua referensi tanpa filter tentang parenting sebelumnya [maka], ia bisa jadi menjadi pelaku yang mencederai parenting itu sendiri," jelasnya.

Apabila orang tua tidak mampu memproses pengalaman masa lalu mereka dan mengaplikasikan pola asuh tanpa filter, ada risiko mereka justru menjadi 'pelaku' yang secara tidak sengaja dapat merusak pola asuh itu sendiri. Ini bukan hanya merugikan anak, tetapi juga menciptakan ketegangan yang tidak perlu antara orang tua dan pihak sekolah, yang seharusnya menjadi mitra dalam mendidik generasi penerus.

Proses untuk mencapai parenting berkesadaran dapat dilakukan secara mandiri melalui refleksi diri dan pembelajaran terus-menerus. Namun, Alva menambahkan bahwa dalam beberapa kasus, bantuan profesional dari psikolog atau terapis akan sangat membantu untuk menggali dan menyembuhkan luka batin yang mungkin terlalu dalam atau sulit diatasi sendiri. Dengan demikian, hubungan harmonis antara orang tua dan sekolah dapat terjalin, demi kebaikan optimal dalam perkembangan anak.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال