JAKARTA - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, memberikan dukungannya terhadap rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengirimkan siswa yang sering membuat masalah atau terlibat perkelahian ke barak militer untuk mengikuti pelatihan kedisiplinan. Pernyataan dukungan ini disampaikan dan telah memicu perdebatan di tengah masyarakat.
“Ini bukan pendidikan militer. Siswa dididik di barak—barak pendidikan,” jelas Menteri Pigai, yang juga menambahkan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin, mentalitas, tanggung jawab, dan moral siswa yang bermasalah.
Penjelasan Menteri Pigai menekankan bahwa mengirimkan siswa yang nakal ke kamp pelatihan militer bergaya boot camp tidak akan melanggar hak asasi manusia, selama program tersebut tidak melibatkan kekerasan fisik. Fokus program ini adalah pada pelatihan yang berorientasi pada disiplin yang diberikan oleh militer.
“Mengapa tidak? Bahkan, pendidikannya akan lebih baik. Jadi, di mana pelanggaran HAM-nya?” tanyanya retoris.
“Saya sudah mengeceknya. Gubernur datang ke kantor saya. Saya bertanya apakah akan ada kekerasan fisik—dia mengatakan tidak.”
Menteri Pigai juga menjelaskan lebih lanjut mengenai perbedaan antara hukuman yang diterapkan di masa lalu dengan program ini. Hukuman seperti mencubit telinga atau memukul dengan rotan—yang umum terjadi di masa lalu—merupakan hukuman fisik dan bukan bagian dari rencana saat ini.
“Itu adalah hukuman fisik, dan itulah yang kita tidak setujui. Tapi saya sudah cek: Bapak Dedi Mulyadi telah menyatakan bahwa praktik seperti itu tidak terlibat. Fokusnya adalah pada peningkatan kemampuan, keterampilan, dan produktivitas,” tegasnya.
Sebagai mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Pigai menyatakan bahwa inisiatif Gubernur Dedi Mulyadi dirancang untuk membangun disiplin dan karakter, menumbuhkan ketahanan mental, dan menanamkan rasa tanggung jawab pada siswa.
Menanggapi kritik bahwa program tersebut mungkin melanggar hak asasi manusia dan telah dilaporkan ke Komnas HAM, Pigai berpendapat bahwa komisi tersebut salah memahami konteks program tersebut.
“Jika mereka benar-benar memahami Deklarasi Beijing atau Pedoman Riyadh tentang sistem peradilan anak, mereka akan tahu bahwa ini bukan bagian dari proses peradilan pidana anak,” tegasnya.
Tags
nasional