Disaster Network: Narasi Pemerintah Tidak Mewakili Realitas Penyintas, Pemerintah Harus Tingkatkan Penanganan Bencana Sumatera

Dr. Listyo Yuwanto, Founder Disaster Network. 

HARIANJABAR.ID -  Disaster Network menilai bahwa penanganan pemerintah terhadap bencana di Sumatra pada November–Desember 2025 menunjukkan pola klasik respons yang lambat, tidak terkoordinasi, dan terlalu berpusat pada pencitraan pejabat, bukan keselamatan penyintas. 

Ketika sejumlah kementerian dan pemerintah daerah menyatakan bahwa kondisi lapangan berangsur membaik, laporan warga, dokumentasi relawan, serta publikasi media justru menunjukkan bukti sebaliknya akses yang masih terputus, logistik tidak merata, layanan kesehatan minim, dan trauma psikologis yang diabaikan.

“Kesenjangan narasi ini muncul karena pemerintah menggunakan indikator makro seperti surutnya air atau perbaikan akses teknis, sementara penyintas menilai dari pengalaman mikro seperti kurangnya air bersih, keterbatasan logistik, dan trauma,” ujar
  Dr. Listyo Yuwanto, Founder Disaster Network. 

Di tingkat lapangan, warga melaporkan beberapa situasi pos pengungsian kekurangan tenda dan air bersih, akses distribusi logistik lambat dan tidak merata, banyak keluarga yang kehilangan harta benda belum mendapatkan layanan psikososial, dan warga harus mengandalkan dapur umum swadaya karena bantuan resmi belum tiba, bahkan harus mencari bantuan melalui jenazah-jenazah belum terurus, dan minum dari air banjir.

Berdasarkan pemantauan media, laporan relawan, dan verifikasi lapangan, Disaster Network menemukan tiga temuan kritis terkait penanganan bencana di Sumatera. Pertama, respons pemerintah lamban di banyak lokasi, warga dan relawan menjadi garda terdepan evakuasi awal yang dilakukan secara mandiri, sementara pemerintah daerah menunggu instruksi pusat dan koordinasi antarinstansi tampak tidak sinkron. Kedua, sejumlah kunjungan pejabat bersifat simbolik dan lebih menonjolkan publisitas daripada penanganan teknis. 

Rombongan besar dan sesi foto justru memperlambat distribusi bantuan, sementara janji bantuan yang disampaikan belum terealisasi di lapangan. Ketiga, meski pemerintah menyatakan keadaan membaik laporan warga menunjukkan sebaliknya air belum surut di beberapa titik, listrik padam dan komunikasi masih putus, bantuan belum merata, dan tingkat trauma penyintas terutama kelompok rentan masih tinggi. Kesenjangan narasi ini memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap informasi resmi pemerintah.


Dalam rangka menjaga keselamatan warga dan mencegah korban lanjutan, Disaster Network mendesak pemerintah mempercepat respons terintegrasi antara BPBD, BNPB, Kementerian Sosial, TNI, Polri, dan pemerintah daerah serta membuka akses bantuan kemanusiaan internasional. Menghentikan praktik kunjungan simbolik yang tidak memberikan dampak nyata bagi penyintas. Meningkatkan transparansi data  mengenai area terdampak, jumlah pengungsi, dan status penanganan di setiap sektor. Memprioritaskan kelompok rentan dalam pendistribusian bantuan dan layanan pemulihan. Mendengarkan suara penyintas, bukan hanya membaca laporan teknis dari birokrasi.


“Di dalam situasi bencana, ukuran moral bukan pada seberapa cepat pemerintah membuat pernyataan, tetapi seberapa cepat penyintas mendapatkan hak dasarnya, pemerintah harus kembali pada prinsip kemanusiaan menyelamatkan jiwa lebih penting daripada menjaga citra” tegas Dr. Listyo. (*)


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال