HARIANJABAR.ID - Penjualan produk herbal di Indonesia
diprediksi mencapai Rp23 triliun pada 2025, dan hal ini mencerminkan lonjakan
signifikan minat masyarakat terhadap pengobatan alami. Sebuah survei yang
dilakukan pada 2024 lalu melalui
apliikasi Alodokter pun menunjukkan, sekitar 45% masyarakat Indonesia lebih percaya obat
herbal dibanding obat modern, karena dianggap lebih alami dan terjangkau.
Namun, di balik meningkatnya permintaan ini, ada sebuah
ancaman tersembunyi. Peredaran produk herbal palsu justru semakin marak, dan
menggerogoti kepercayaan konsumen. Pesatnya pertumbuhan pasar herbal di Tanah
Air tidak diimbangi dengan edukasi konsumen yang memadai, menciptakan celah
bagi oknum untuk memanfaatkan kepercayaan masyarakat dengan menjual produk
palsu yang berbahaya.
Akhmad Rois, Direktur PT. Hollis Media Bariklana, perusahaan
yang memasarkan herbal Tugingo, mengungkapkan keprihatinan akan fenomena produk
obat herbal palsu yang kian marak di pasaran.
"Permintaan pasar herbal yang tinggi dimanfaatkan oleh
oknum untuk memproduksi dan menjual produk palsu dengan harga jauh lebih murah.
Konsumen tergiur, tanpa menyadari risiko kesehatan yang mereka ambil,"
jelas Akhmad.
Perbedaan harga yang signifikan menjadi daya tarik utama
bagi Masyarakat dalam membeli produk herbal palsu. Untuk produk herbal Tugingo original misalnya,
dijual dengan harga Rp.195.000, sementara produk palsu beredar hanya
Rp.100.000. Teknologi packaging yang semakin canggih membuat produk palsu sulit
dibedakan dari aslinya oleh konsumen awam.
Dampak Kesehatan yang Tersembunyi
Padahal dengan membeli produk palsu bukan hanya tidak efektif, tetapi justru membahayakan
kesehatan . "Isi kapsul produk palsu tidak jelas komposisinya. Bisa jadi
mengandung bahan berkualitas rendah atau bahkan bahan kimia berbahaya yang
tidak teruji klinis," ujar Akhmad. Risiko ini termasuk reaksi alergi, efek
samping yang tidak diinginkan, bahkan perburukan kondisi kesehatan.
Lebih berbahaya lagi, produk palsu tidak memiliki izin BPOM
dan sertifikat Halal, yang artinya tidak ada jaminan keamanan dan kualitas.
Konsumen yang mengalami gejala buruk sulit menghubungkannya dengan produk
palsu, malah menganggapnya sebagai perburukan penyakit alami.
Edukasi jadi Kunci Utama
"Masyarakat yang teredukasi adalah pembeli yang cerdas.
Mereka tidak akan mudah tergoda produk palsu," tegas Akhmad. Edukasi
literasi konsumen menjadi senjata paling efektif dalam memerangi produk palsu.
Tugingo memberikan panduan konkret membedakan produk
original dan palsu. Ciri-ciri produk original antara lain: hologram warna emas
bertuliskan PT. JHP, kemasan terang dengan logo "Bangga Buatan
Indonesia", tanggal kadaluarsa berupa cap, stiker putih kebiruan, dan isi
kapsul berwarna putih kecoklatan.
Sebaliknya, produk palsu memiliki hologram warna silver,
kemasan gelap tanpa logo Indonesia, tanggal kadaluarsa print, dan isi kapsul
hijau tua dengan cap yang pudar.
Langkah Konkret untuk Pembeli Cerdas
Akhmad memberikan rekomendasi untuk selalu membeli obat
herbal di toko resmi atau reseller yang terpercaya. “Selain itu selalu verifikasi
nomor BPOM (POM TR.203393411) dan Halal MUI (ID35110019563570823) di website
resmi kami. Simpan struk pembelian sebagai bukti," terangnya.
Diakui Akhmad, edukasi mengenai produk herbal menjadi
tanggung jawab bersama. Pihak produsen harus berkomitmen menjaga kualitas,
distributor menjamin keamanan distribusi, regulator melakukan pengawasan, media
membuka mata masyarakat, sedangkan konsumen menjadi pembeli cerdas. “Itulah
ekosistem industri herbal yang sehat," paparnya.
Investasi kesehatan menurut Akhmad tidak boleh dimulai
dengan kesalahan dalam memilih obat. “Jadilah pembeli yang cerdas dan
melindungi kesehatan keluarga dari ancaman produk palsu,” pungkasnya. (*)
