Ekonom Unpar: Penurunan Daya Beli saat Ramadan dan Lebaran Cerminkan Kehati-hatian Konsumen


Ilustrasi Daya Beli 


BANDUNG - Fenomena penurunan daya beli masyarakat selama bulan Ramadan dan menjelang Lebaran tahun 2025 menjadi sorotan serius dari kalangan akademisi. Seorang ekonom dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Aknolt Kristian Pakpahan, menganalisis bahwa tren tersebut menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat untuk membatasi konsumsi berlebihan di tengah ketidakpastian ekonomi.

Dalam penjelasannya, Aknolt menyampaikan bahwa fenomena deflasi yang terjadi selama periode ini merupakan cerminan dari rendahnya tingkat konsumsi akibat melemahnya daya beli atau bahkan upaya masyarakat untuk menahan diri dari perilaku konsumtif di bulan suci Ramadan.

"Penurunan daya beli masyarakat ini tidak semata disebabkan oleh pengaruh kebijakan proteksionis Presiden Donald Trump (Trump Effect), meskipun kebijakan tersebut memang telah menambah ketidakpastian dalam perdagangan Internasional," katanya, Senin (7/4/2025).

Ekonom tersebut menjelaskan bahwa kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat telah memberikan tekanan terhadap sejumlah negara mitra, termasuk Indonesia, yang bergantung pada ekspor ke pasar Amerika. "Dampak dari kebijakan ini pun terasa pada sektor-sektor tertentu yang kini menghadapi hambatan dalam pasar ekspor," imbuhnya.

Selain faktor eksternal, Aknolt juga mengidentifikasi beberapa faktor internal yang berkontribusi pada penurunan daya beli masyarakat Indonesia. "Berita mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor industri telah membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam berbelanja," ujar Aknolt.

Kondisi ini semakin diperparah dengan gejolak di pasar modal, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami penurunan signifikan dalam satu hari perdagangan. Bersamaan dengan itu, penurunan penerimaan negara dari sektor pajak juga mengindikasikan adanya tekanan dalam perekonomian nasional.

"Hal ini menunjukkan ketidakpastian yang mendorong masyarakat untuk menahan diri dalam pengeluaran konsumtif," ungkapnya.

Data yang dirilis oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tentang penurunan jumlah pemudik tahun 2025 dibandingkan tahun sebelumnya turut menguatkan analisis ini. Penurunan tersebut mencerminkan sikap kehati-hatian masyarakat dalam mengalokasikan anggaran selama periode Lebaran.

Menurut Aknolt, kondisi ini perlu mendapat perhatian serius dan langkah antisipasi dari pemerintah. "Pemerintah perlu mengelola kondisi ekonomi dengan baik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memulihkan tingkat konsumsi," tegasnya.

Beberapa strategi yang direkomendasikan oleh ekonom Unpar ini meliputi negosiasi dengan Amerika Serikat terkait fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Tujuannya agar produk ekspor Indonesia terhindar dari pengenaan tarif impor yang dapat menurunkan daya saing. Selain itu, ia juga menyarankan penguatan kerjasama dengan pasar-pasar non-tradisional untuk menjaga kinerja ekspor Indonesia.

"Tidak hanya itu, penurunan permintaan terhadap komoditas seperti batubara dan nikel juga harus diantisipasi, terutama untuk menjaga keberlanjutan industri dan lapangan pekerjaan di sektor-sektor terkait," ujarnya.

Aknolt menekankan pentingnya menjaga stabilitas ekonomi makro dan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif untuk mendorong aktivitas ekonomi. Insentif fiskal yang tepat sasaran juga dapat membantu merangsang konsumsi masyarakat tanpa menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan.

Fenomena penurunan daya beli yang terjadi pada bulan Ramadan dan Lebaran tahun ini menurut Aknolt, memang menjadi tantangan tersendiri bagi perekonomian nasional. Namun, ia berharap bahwa kondisi ini hanya bersifat sementara dan pola konsumsi masyarakat akan kembali normal setelah periode libur panjang Lebaran berakhir.

"Perilaku konsumen yang cenderung menahan diri dalam berbelanja ini diharapkan akan berangsur pulih pasca-Lebaran, seiring dengan kembalinya aktivitas ekonomi normal," jelasnya.

Analisis yang disampaikan oleh Aknolt Kristian Pakpahan ini memberikan gambaran komprehensif mengenai dinamika ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. Faktor eksternal seperti kebijakan proteksionis Amerika Serikat dan faktor internal seperti ketidakpastian pasar tenaga kerja telah menciptakan situasi yang mendorong masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam pengeluaran konsumtif.

Meskipun demikian, ia optimis bahwa dengan langkah-langkah yang tepat dari pemerintah dan stakeholder terkait, perekonomian Indonesia dapat segera pulih dan kembali ke jalur pertumbuhan yang diharapkan.

"Saya berharap ini hanya fenomena sementara. Setelah libur panjang Lebaran, pola konsumsi masyarakat bisa kembali normal dan mendukung pemulihan ekonomi nasional," pungkasnya.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال