LONDON - Era digital telah menghadirkan kemudahan akses dalam bekerja, namun di balik fleksibilitas tersebut tersembunyi dampak psikologis yang tidak dapat diabaikan. Sebuah penelitian terbaru dari University of Nottingham yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Organizational Psychology mengungkapkan berbagai tantangan mental yang dihadapi pekerja di era digital.
Studi ini memperkenalkan konsep baru bernama Digital Workplace Technology Intensity (DWTI), yang menggambarkan intensitas tekanan mental dan emosional yang dialami pekerja akibat tuntutan lingkungan kerja yang terlalu terkoneksi. Temuan ini menyoroti paradoks modernisasi tempat kerja, di mana peningkatan efisiensi justru berbanding lurus dengan potensi gangguan kesehatan mental.
Salah satu fenomena yang diidentifikasi dalam penelitian adalah Fear of Missing Out (FoMO) dalam konteks profesional. Karyawan, terutama yang bekerja jarak jauh, kerap dilanda kecemasan akan tertinggal informasi penting atau dianggap kurang produktif jika tidak memberikan respons instan terhadap komunikasi kerja.
Masalah lain yang tidak kalah serius adalah fenomena techno-overwhelm, kondisi di mana pekerja merasa kewalahan menghadapi banjir informasi digital. Email yang tidak ada habisnya, pesan instan, dan notifikasi yang terus bermunculan menciptakan tekanan psikologis yang signifikan.
Penelitian ini juga mengungkap bagaimana teknologi digital, meski meningkatkan produktivitas dan konektivitas, telah mengaburkan batas antara kehidupan profesional dan pribadi. Perilaku seperti mengecek email kerja di tengah malam atau selama liburan telah menjadi hal yang lumrah, menandakan pergeseran ekspektasi dalam budaya kerja modern.
Kecemasan produktivitas muncul sebagai konsekuensi dari budaya "selalu terhubung" ini. Banyak karyawan merasa terpaksa memberikan respons cepat terhadap komunikasi kerja, takut dinilai tidak produktif jika tidak melakukannya. Kondisi ini semakin diperparah oleh ketidakmampuan untuk benar-benar memutuskan koneksi dari pekerjaan, bahkan saat berada di luar jam kerja.
Menanggapi temuan ini, para peneliti merekomendasikan beberapa solusi untuk menciptakan lingkungan kerja digital yang lebih sehat. Pertama, pengembangan keterampilan digital, terutama bagi karyawan senior yang mungkin mengalami kesulitan beradaptasi dengan teknologi baru. Kedua, mendorong penerapan batasan yang jelas antara waktu kerja dan pribadi.
Solusi ketiga fokus pada penyederhanaan dan peningkatan aksesibilitas alat kerja digital untuk meminimalisir frustrasi teknis. Terakhir, peneliti menekankan pentingnya pendekatan individual dalam mengelola ruang kerja digital, mengingat setiap karyawan memiliki kebutuhan dan preferensi yang berbeda.
Studi ini menjadi pengingat penting bahwa modernisasi tempat kerja harus diimbangi dengan pertimbangan kesejahteraan mental karyawan. Tantangan ke depan adalah menemukan keseimbangan antara memanfaatkan keunggulan teknologi digital sambil tetap melindungi kesehatan mental pekerja.
Dengan menerapkan rekomendasi dari penelitian ini, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja digital yang tidak hanya produktif tetapi juga mendukung kesejahteraan mental karyawannya. Hal ini menjadi semakin krusial mengingat tren kerja digital yang diprediksi akan terus berkembang di masa depan.