![]() |
Salah satu lukisan karya seniman Yos Suprapto |
JAKARTA - Perbedaan pandangan dalam pendekatan karya dan narasi kuratorial telah memaksa seniman Yos Suprapto mengambil keputusan tegas untuk menarik seluruh karyanya dari Galeri Nasional Indonesia (GalNas). Perselisihan ini muncul di tengah berlangsungnya pameran bertajuk "Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" yang seharusnya berlangsung hingga 19 Januari 2025.
Dalam pernyataannya kepada media di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Senin, Yos mengungkapkan alasan di balik keputusannya tersebut. "Kita sepakat untuk tidak sepakat tentang pendekatan karya dan narasi dari karya yang ada kaitannya dengan tema pameran ini," jelasnya seperti dilansir Antara.
Situasi semakin rumit dengan pengunduran diri kurator yang sebelumnya terlibat dalam program pameran tersebut. Kondisi ini akhirnya mendorong Yos mengambil langkah tegas untuk membawa pulang seluruh karyanya dari GalNas.
Tekad seniman untuk mengakhiri pamerannya terlihat dari persiapan yang telah dilakukan, termasuk menyiapkan kendaraan pengangkut untuk memindahkan karya-karyanya. "Saya menunggu direktur GalNas yang katanya sedang ada pertemuan di Senayan. Tapi kalau menunggu terlalu lama, saya akan mendatangi Satpam untuk meminta kunci. Hari ini, saya akan turunkan karya-karya saya," tegas Yos.
Pameran yang sempat dibuka pada 20 Desember lalu ini sebenarnya menampilkan 30 karya yang mengangkat isu kritis tentang kerusakan tanah dan urgensi pertanian berkelanjutan. Karya-karya tersebut, menurut Yos, merupakan hasil interpretasi artistik dari penelitian ilmiah yang telah ia lakukan.
Melalui pameran ini, Yos berupaya menyoroti fenomena marginalisasi tanah pertanian yang semakin mengkhawatirkan. Tema yang diangkat memiliki resonansi kuat dengan isu kedaulatan pangan yang menjadi perhatian nasional.
Pembatalan pameran ini menjadi catatan tersendiri dalam dinamika dunia seni rupa Indonesia, di mana perbedaan perspektif kuratorial dapat berujung pada keputusan drastis penarikan karya. Peristiwa ini juga membuka diskusi lebih lanjut tentang pentingnya keselarasan visi antara seniman, kurator, dan institusi seni dalam menyelenggarakan sebuah pameran.
Pameran yang seharusnya berlangsung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat ini meninggalkan pelajaran berharga tentang kompleksitas hubungan antara berbagai pemangku kepentingan dalam dunia seni rupa Indonesia.