
Polemik bermula dari unggahan Dedy Nur Palakka di platform media sosial X pada Jumat (13/6/2025). Dalam postingannya, politikus PSI tersebut merespons sindiran warganet terkait kedekatan Jokowi dengan masyarakat. Namun, tanggapannya justru menimbulkan kehebohan di dunia maya.
"Jadi nabi pun sebenarnya beliau ini sudah memenuhi syarat, cuman sepertinya beliau menikmati menjadi manusia biasa dengan senyum selalu lebar ketika bertemu dengan rakyat. Sementara di dunia lain masih ada saja yang tidak siap dengan realitas bahwa tugas kenegaraan beliau sudah selesai dengan paripurna," demikian bunyi kicauan yang kemudian viral dan menuai kritikan luas.
Merespons pernyataan tersebut, KH Athian Ali dengan tegas menyatakan bahwa kader PSI itu kemungkinan besar tidak menganut agama apapun. Menurut pemimpin FUUI ini, seseorang yang beragama tidak mungkin melontarkan pernyataan sedemikian rupa.
"Kalau beragama tentu tidak akan keluar pernyataan tersebut dan kalau pun beragama pasti sesat. Mengapa demikian? Dengan yang bersangkutan mengangkat seseorang menjadi nabi, atau menyatakan seseorang memenuhi syarat menjadi nabi, maka yang bersangkutan sudah memposisikan dirinya sebagai Allah Ta'ala (Tuhan), sebab yang berhak mengangkat seorang nabi dan /atau menyatakan seseorang memenuhi persyaratan untuk menjadi nabi, hanyalah Allah," tegas KH Athian dalam keterangannya.
Lebih lanjut, ulama asal Jawa Barat ini menegaskan bahwa mustahil seseorang yang mengaku muslim memiliki pemikiran seperti itu. Ia mendasarkan argumennya pada keyakinan fundamental dalam Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah rasul terakhir yang diutus Allah SWT.
"Tidak mungkin seorang muslim menyatakan demikian. Sebab setiap muslim wajib meyakini bahwa nabi terakhir adalah Rasulullah Muhammad SAW, tidak ada nabi dan rasul setelahnya, Al Quran surat Al Ahzab ayat 40," jelas KH Athian.
Dalam penjelasannya yang mendalam, KH Athian menguraikan perbedaan mendasar antara istilah Nabi dan Rasul berdasarkan Al-Quran surat Al Hajj ayat 52. Menurutnya, Rasul adalah orang yang membawa risalah dari Allah untuk disebarkan kepada umat manusia . Sementara itu, Nabi bertugas melanjutkan dan menyampaikan risalah yang telah dibawa oleh Rasul sebelumnya.
"Nabi tidak membawa risalah tetapi melanjutkan risalah yang telah dibawa oleh Rasul sebelumnya. Ia seorang pembawa berita (naba) maka ia disebut seorang Nabi karena membawa berita atau risalah Allah tersebut. Nah, pertanyaannya adalah kapan Jokowi membawa dan menyampaikan risalah Allah tersebut kepada umat manusia?," tanya KH Athian secara retoris.
"Nabi tidak membawa risalah tetapi melanjutkan risalah yang telah dibawa oleh Rasul sebelumnya. Ia seorang pembawa berita (naba) maka ia disebut seorang Nabi karena membawa berita atau risalah Allah tersebut. Nah, pertanyaannya adalah kapan Jokowi membawa dan menyampaikan risalah Allah tersebut kepada umat manusia?," tanya KH Athian secara retoris.
Berdasarkan kriteria tersebut, KH Athian menyimpulkan bahwa disamping kenabian dan kerasulan yang telah berakhir dengan diutusnya Rasul dan Nabi terakhir Muhammad Rasulullah SAW, Jokowi sama sekali tidak memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai Nabi. Ia mencatat bahwa selama sepuluh tahun terakhir, mantan presiden tersebut tidak pernah terlihat berdakwah atau menyampaikan risalah Illahi, bahkan sangat mungkin menentang sebagian besar risalah Islam, khususnya dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
KH Athian juga menyinggung aspek kewarganegaraan kader PSI tersebut dalam konteks Pancasila sebagai dasar negara.
"Jika yang bersangkutan tidak beragama ya itu hak dia. Tetapi orang yang tidak beragama harusnya tidak bisa tinggal di Indonesia, mengapa?. Sebab dasar negara Pancasila sila , dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa," tegas KH Athian.
Dalam perspektif keagamaan, KH Athian menilai pernyataan kader PSI tersebut telah masuk kategori pelecehan dan penodaan agama. Ia menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam, kedudukan Nabi sangatlah mulia karena mereka adalah pilihan langsung dari Allah SWT.
"Jika ingin memilih tidak beragama itu hak yang bersangkutan, tapi jangan pernah mempergunakan istilah-istilah dalam agama yang tidak diimaninya, karena itu jelas sangat menyakitkan bagi orang yang beragama. Mengapa? Sebab bagi setiap muslim posisi dan kedudukan Nabi itu sangat mulia, karena seorang Nabi itu manusia termulia yang ditetapkan dan dipilih Allah SWT ," terang ulama yang dikenal aktif dalam kegiatan dakwah ini.
KH Athian menambahkan bahwa dari miliaran manusia yang pernah, sedang, dan akan hidup hingga hari kiamat, hanya 25 Nabi dan Rasul yang dipilih Allah dan disebutkan dalam Al-Quran.
"Jadi betapa sesatnya seseorang, ketika sosok nabi yang sangat mulia dan dimuliakan Allah SWT tersebut disejajarkan dengan manusia biasa yang diduga oleh banyak pihak, sebagai sosok yang penuh tipu-daya, kepalsuan dan sangat banyak kesalahan dan dosanya. Adalah sangat wajar sekali jika umat Islam sakit hati dan ini jelas sebuah pelecehan dan penodaan agama," tegas KH Athian.
"Seorang ulama bahkan sahabat Nabi sekalipun tidak ada yang berhak diberi gelar Nabi, atau dianggap memenuhi syarat untuk menjadi nabi. Para ulama sekalipun yang hidupnya senantiasa berjuang menegakkan risalah Illahi yang diwariskan nabi, hanya berhak disebut sebagai pewaris ( ajaran) Nabi. Jika ada seseorang mengaku Nabi maka jelas itu nabi palsu," jelas KH Athian.
Sebagai penutup, KH Athian mengajukan permintaan kepada para ahli hukum untuk mengkaji apakah pernyataan tersebut memenuhi unsur pelecehan dan penodaan agama. Jika terbukti, ia meminta agar pelaku diproses secara hukum untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Kontroversi ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam menyampaikan pendapat di media sosial, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif keagamaan. Pernyataan yang tidak hati-hati dapat menimbulkan polemik berkepanjangan dan berpotensi melecehkan keyakinan umat beragama.